Selasa, 07 Agustus 2012

TULANG RUSUK YANG HILANG

Ku masih berjuang untuk menemukan tulang rusuk yang pernah hilang,masih ada kah tulang yang hilang ini di dunia ini....kalau msih moga ada yang bersidia mengembalikanaya kepada pemiliknya.

Jumat, 18 November 2011

Syair Islam

Kumpulan Puisi Dan Syair Islam
(Beserta Penjelasannya)

Jatuh Cinta

(Diberi judul sendiri)

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku
Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong.

(Sebuah syair dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, salah satu dari tujuh orang
ulama ahli fiqh dari kalangan tabi’in (fuqaha assab’ah), salah seorang guru utama Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seorang ulama yang produktif menulis syair, yang pernah jatuh cinta)

Penjelasan :

Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat. Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan.

Di saat seperti ini, segala bentuk qorinah / tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.

Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan, maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama merupakan sumber gunjingan yang paling enak.

Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya apabila kecederungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan,
sebagaimana sebuah hadits menyatakan, ”Tidak ada yang terbaik bagi dua orang yang saling
mencintai kecuali menikah.” (HR. Ibnu Majah)

Sedangkan menunda-nunda ikatan pernikahan saat hati sudah tertambat pada diri seseorang, atau berusaha menghindar terhadap seseorang yang kita sukai merupakan bentuk penyiksaan batin yang lain, seperti seekor kucing yang dijauhkan dari makanan yang baru ditemuinya.

Ia merasa begitu kehilangan, karena dijauhkan dari sesuatu yang selama ini ia harapkan. So, segera pastikan, cari sebuah jawaban, kunjungi orang tuanya, tentukan tanggal pelaksanaan. Insya Allah hati akan menjadi tentram. Wallauhu’alam bishshowab.

Jendela Hati

Tak biasanya jendela itu terbuka setelah cahaya pergi
Sebuah aroma yang belum pernah hadir mulai melewati
Pertama terhirup membuat bulu hidung terasa berdiri
Untuk yang kedua diriku menjadi menikmati
Selanjutnya penciumanku selalu menanti dan mencari
Kapan aroma itu datang kembali
Bila sudah begitu jendela itu menjadi tak terkendali
Dia menjadi lupa kepada siapa harus terbuka atau terkunci

Penjelasan :

Pada awalnya pandangan kita begitu terjaga, sampai akhirnya pandangan itu melihat sesuatu yang belum pernah kita saksikan sebelumnya, sesuatu yang tidak layak kita lihat.

Sehingga membuat hati kita berdegup kencang dibuatnya, pikiran terasa tertusuk karenanya. Namun, saat pandangan itu kita arahkan untuk yang kedua kali, degup hati sudah terkendali dan pikiran mulai menghayati objek tersebut.

Bila penghayatan itu berlangsung sekian lama, maka hati mulai menikmati, dan jiwa akan menyukai. Bila sudah begitu, hati akan menjadi rindu kepada objek tersebut.

Untuk selanjutnya kita akan berusaha untuk melihatnya kembali pada kesempatan yang lain, dengan berbagai macam cara.

Jadilah pandangan kita menjadi liar tak terkendali, karena telah dikuasai oleh nafsu yang membakar hati.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, ”Zina mata (Lahadhat) adalah pandangan kepada hal-hal yang menuju kemaksiatan. Bukan sekedar memandang, akan tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka ia akan masuk kepada hal-hal yang membinasakan.”

Beliau melanjutkan, ”Antara mata dan qalbu itu ada penghubung dan jalan sehingga saling berhubungan satu sama lain. Bila salah satunya baik, maka baik pula yang lain. Dan sebaliknya, bila salah satu rusak, maka rusak pula yang lain.

Rusaknya qalbu akan merusakkan pandangan, dan rusaknya pandangan akan merusakkan qalbu. Demikian pula sebaliknya, pandangan yang baik akan menjadikan qalbu yang baik, dan qalbu yang baik akan membaikkan pandangan. Jika qalbu telah rusak, jadilah ia seperti tempat sampah yang merupakan tempat pembuangan najis, kotoran dan apa-apa yang berbau busuk.

Jika sudah demikian keadaannya, ia tidak dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi pengenalan kepada Allah SWT, cinta kepada-Nya, kembali kepada-Nya, senang dan gembira bila dekat dengan-Nya. Namun yang menempatinya saat itu adalah perkara-perkara yang sebaliknya.”

”Ia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
(QS. Al Mu’min : 19)


Percikan Ikhlas

Saya menuntut ilmu bukan sekedar berbangga
Saya menuntut ilmu untuk ke surga
Saya bekerja bukan sekedar mencari harta
Saya bekerja untuk ke surga
Saya berbakti kepada orang tua bukan sekedar balas jasa
Saya berbakti kepada orang tua untuk ke surga
Saya kembali pulang bukan sekedar nostalgia
Saya kembali pulang untuk ke surga
Kupilih kamu bukan sekedar cinta
Kupilih kamu untuk ke surga
Kujauhi yang lain bukan karena tak suka
Kutinggalkan yang lain karena takut dosa
Setiap saat kita senantiasa dihadapan dengan berbagai pilihan perbuatan, apakah itu berkenaan dengan pekerjaan, keluarga, sekolah, atau berbagai aktivitas lainnya.

Dan hampir semua pilihan itu kita ukur dengan pertimbangan enak atau ga enak, baik atau buruk, untung atau rugi, senang atau sengsara, dsb yang serupa dengan itu. Dan semua ini wajar dimiliki oleh seseorang yang masih baik akalnya.

Pertanyaannya, materi-materi kebaikkan macam apa yang kita kehendaki dan materi- materi keburukan seperti apa yang kita jauhi ? Kondisi-kondisi enak yang bagaimana yang kita harapkan, dan kondisi-kondisi tidak enak semacam apa yang kita benci ?

Keadaan- keadaan senang semacam apa yang kita nantikan, dan keadaan-keadaan sengsara seperti apa yang kita takuti ?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan sumber inspirasi kita dalam berbuat. Ia merupakan pijakan utama kita dalam mengambil keputusan. Dan ia juga penegas kedudukan kita sebagai hamba dunia atau hamba-Nya.

Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang barangsiapa menetapinya ia akan merasakan manisnya iman,

(1) Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala-galanya,

(2) Orang yang mencintai orang lain hanya karena Allah,

(3) Orang yang enggan kembali kafir setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini berarti, segala sesuatu yang kita pilih hendaknya menyimpan materi-materi kebaikkan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan sesuatu yang kita jauhi karena ia mengandung materi-materi yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin Khaththab r.a.)

Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan, sehebat dan sebesar apapun amal yang telah kita lakukan, tidak akan diterima di sisi Allah swt, kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :

1.Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan
keridhaan Allah ta’ala (ikhlas), sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar.
2.Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah
saw, sebagaimana sabda beliau, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Al Qurthubi berkata, “Telah menjadi suatu perkara yang tetap dalam Al Kitab dan Sunnah bahwa amalan-amalan yang shalih dan ikhlas ketika melakukannya dengan diiringi keimanan akan membawa pelakunya menuju surga dan jauh dari neraka.”

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk : 2)

Fudhail bin Iyadh berkata mengenai ayat ini, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar”. Ketika ditanyakan, “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal sekalipun benar tetapi tidak dikerjakan dengan ikhlas, maka amal itu tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak dengan cara yang benar, maka amal tersebut juga tidak akan diterima. Ikhlas hanya dapat terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah swt.

Sedangkan amal yang benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw.

Senin, 14 November 2011

MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA

MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA

Perasaan cemburu adalah ketidaksukaan bergabungnya orang lain pada haknya.Sesungguhnya perasaan cemburu adalah tabiat yang alami. Merupakan fitrah yang tercipta pada diri setiap manusia, sesuai dengan tabiat manusiawi yang dipupuk dengan nilai-nilai keimanan. Ia berfungsi sebagai penjaga kemuliaan dan kehormatan manusia. Akan tetapi, perasaan cemburu tersebut haruslah sesuai dengan aturan agama yang mengutamakan kesabaran, ilmu, keadilan, kebijaksanaan, kejujuran, ketenangan dan kelembutan dalam semua perkara.

Menurut ?Abdullah bin Syaddad, ada dua jenis ghirah. Pertama, ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga. Kedua, ghirah yang dapat menyebabkannya masuk neraka. Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta?ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadits disebutkan : bahwa Nabi shollallahu ?alaihi wa sallam bersabda: Ada jenis cemburu yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta?ala, adapula yang dibeni-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada keraguan, sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasi keraguan.?

Disebutkan di dalam hadits,

?Saad bin Ubadah radhiallahu ?anhu berkata, Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang,? ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau shollallahu ?alaihi wa sallam bersabda, ?Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.?

Ditinjau dari sisi yang lain, cemburu ada dua macam. Pertama, ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai). Kedua, ghirah ?alal mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya.

Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormatan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pencinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para Rasul ?alaihi salam dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta?ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta?ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta?ala, Rasul shollallahu ?alaihi wa sallam dan agama-Nya. Adapun ghirah ?alal mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

BEBERAPA CONTOH KECEMBURUAN
SEBAGIAN ISTERI NABI SHOLLALLAHU ?ALAIHI WA SALLAM

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas radhiallahu ?anhu berkata:

?Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: ?Ibu kalian sedang cemburu,? lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemilik mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau.?

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi shollallahu ?alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah ?Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.?

Dalam hadits yang lain diriwayatkan:

?Dari Aisyah: ?Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya.?

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ?Aisyah berkata: ?Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di baqi?). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: ?Kenapa kamu, hai Aisyah, dadamu berdetak kencang?? Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: ?Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu??.

NASIHAT BAGI WANITA DALAM MENGENDALIKAN PERASAAN CEMBURU

Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

* Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi shollallahu ?alaihi wa sallam kepada ?Aisyah radhiallahu ?anha: ?Hai ?Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut.? Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.

* Wanita pencemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.

* Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah shollallahu ?alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari?at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.

* Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekagumman terhadap laki-laki lain, baik pakaiannya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan ?kejantanan?nya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab, seorang suami berat melupakan itu semua.

* Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamlah dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.

* Wahai para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.

* Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh ?salah-kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu, lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.

* Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu.

TIDAK BOLEHKAH CEMBURU?

Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohan apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Ya benar! Akan tetapi, apakah pantas seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?

Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.

Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.
alsofwah.or.id

Jumat, 11 November 2011

Menjawab Tuduhan Kaum Feminis tentang Penciptaan Hawa

Menjawab Tuduhan Kaum Feminis tentang Penciptaan Hawa


KAUM Feminis Barat menuduh bahwa agama-agama samawi adalah agama yang membenci wanita. Terbukti teks-teks agama yang berkaitan dengan perempuan selalu berkonotasi negatif. Wanita selalu ditempatkan pada posisi yang rendah dibanding laki-laki.

Persoalan kedudukan wanita tidak dapat diketahui dengan baik tanpa mengkaji terlebih dulu asal usul kejadian wanita, yaitu Hawa. Seperti diketahui, di antara sebab kenapa semua agama samawi dituduhmisogynist (pembenci wanita), karena mengatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Pendapat ini sebenarnya ada dalam tradisi Kristen, kemudian sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu juga diakui oleh Islam. Namun pendapat ini pada hakekatnya tidak kuat. Islam tidak menjelaskan secara spesifik penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.

Secara faktual yang mendukung hal ini adalah teks-teks Bible.
Berbeda dengan keterangan Bible, al-Qur`an sama sekali tidak menyebut kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam. Yang jelas, al-Qur`an hanya menyatakan bahwa manusia diciptakan dari satu jiwa. Ini berarti Adam dan Hawa berasal dari jiwa yang sama.

Dalam konteks ini, Sayyid Qutb di dalam kitab tafsirnya mengatakan, masing-masing merupakan dua bagian yang tidak mungkin dipisahkan (shatray al-nafs al-wahidah). Seterusnya, al-Qur`an juga menjelaskan bahwa dari satu jiwa itu diciptalah pasangan bagi Adam, yaitu Hawa. Surah al-Nisa, ayat 1 menjelaskan:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Namun dari keterangan ini, kaum Feminis Muslim kemudian menuduh para ulama Islam telah mengambil kisah kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam dari kisah-kisah Israiliyyat. Sebenarnya, tidak dinafikkan bahwa fakta tersebut diambil oleh sebagian besar ulama dari kisah-kisah Israiliyyat. Namun, para ulama juga bersandar pada beberapa Hadits yang menjelaskan penciptaan Hawa dari tulang rusuk. Meski kemudian dari mereka menerjemahkan Hadits itu secara literal. Bunyi Hadits tersebut:

‏”Dari Abu Hurairah ra. berkata: ‘Telah bersabda Rasulullah Shallalluh ‘alaihi wa salam (SAW), jagalah kaum wanita (dengan baik), sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (min dil‘) dan sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang teratas, maka jikalau engkau berusaha meluruskannya engkau akan mematahkannya dan jika engkau biarkannya ia akan kekal bengkok, maka jagalah kaum wanita (dengan baik)”.

Hadits tersebut secara harfiyah atau literal artinya, Hawa telah diciptakan oleh Allah SWT dari tulang rusuk. Namun, beberapa persoalan timbul, apakah pemahaman Hadits secara harfiyyah ini betul dan tepat? Mungkinkah yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh Nabi SAW adalah makna majazi dan bukan makna haqiqi atau literal?

Tidak ada satu Hadits pun yang merinci tentang kejadian wanita dari tulang rusuk Adam. Yang pasti, yang ingin disampaikan oleh Rasulullah SAW bukan penciptaan Hawa, tapi memerintahkan supaya lelaki berlemah lembut dalam hubungannya dengan wanita karena kekerasan tidak akan berdampak baik.

Demikian juga jika membiarkannya, ia akan merugikan kedua belah pihak. Dengan memahami hakekat wanita yang sedemikian rupa, lelaki hendaklah bersikap lebih bijaksana dalam berinteraksi dengan mereka. Atas dasar inilah Rasulullah SAW menasihati agar kaum wanita dijaga dengan baik, dan inilah sebenarnya mafhum Hadits tersebut.

Selain itu, terdapat berbagai lafaz yang digunakan dalam matan Hadits itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad dan Tirmizi dengan lafaz yang sedikit berbeda. Riwayat Bukhari dalam Sahih Bukhari dan riwayat Muslim menyebut khuliqat min dil’, sedang dalam riwayat Ahmad disebut khuliqna min dil‘.

Namun, terdapat juga riwayat Bukhari, Tirmizi dan Imam Ahmad dari musnad Samrah bin Jundub yang berbunyi al-mar’atu ka al-dil‘. Berkaitan dengan Hadits yang kedua ini, Imam Tirmizi mengatakan disampaikan melalui riwayat atau jalan lain yaitu oleh Abu Zar, Samrah dan ‘Aishah.

Jika dianalisa dari segi bahasa, perkataaan min dalam bahasa Arab biasanya bermakna ‘dari’, tetapi kadangkala juga bisa bermakna ‘seperti’ (mithl).

Persoalannya ialah, apakah qarinah untuk membuktikan bahwa yang dikehendaki dan dimaksudkan Hadits ini (Hadits yang menyebut frasa ka al-dil‘) adalah ‘seperti’ (mithl) dan bukannya ‘dari’?

Jika diambil prinsip dan kaidah bahwa suatu Hadits bisa ditafsiri dengan menggunakan Hadits yang lain, maka makna yang rajih (kuat) bagi Hadits tersebut adalah hakekat kejadian wanita seperti tulang rusuk (ka al-dil‘), bukan dari tulang rusuk. Oleh karena itu, qarinah atau bukti kesahihan makna ‘seperti’ (mithl) dalam Hadits ini adalah Hadits sahih yang lain.

Walaupun orang awam biasanya cenderung kepada makna zahir/literal Hadits dan memberi makna dari ‘tulang rusuk’; tetapi karena ada Hadits yang memberi pemahaman yang lebih sempurna, maka makna literal harus diganti dengan metafora atau makna majazi. Penafsiran seperti ini sangat cocok dengan pesan yang ingin disampaikan oleh Rasulullah SAW yaitu adanya persamaan di antara wanita dengan tulang rusuk.

Persamaan tersebut dari segi sifat keduanya yang bengkok, melengkung atau tidak lurus, dan lelaki harus menerima keadaan itu dengan hati tanpa mencoba memaksa wanita atau meluruskannya. Dengan penafsiran yang thematic dan bukan harfiyah ini, hilanglah kemusykilan bahwa wanita diciptakan dari sebagian kecil anggota badan lelaki yang memberi konotasi kerendahan asal-usul wanita.

Apabila diteliti dengan saksama, kekeliruan yang sering terjadi dalam memahami suatu Hadits ataupun ayat disebabkan oleh sikap selektif dan atomistik.

Dalam memahami satu Hadits, seseorang harus bersikap terbuka dan mencoba memahaminya dalam kerangka maqasid syari‘ah (objektif shari‘ah). Demikian juga, seperti juga dalam ilmu tafsir, di dalam ilmu Hadits juga terdapat kaedah menafsirkan Hadits dengan Hadits yang lain.

Jadi, jelaslah dari kajian ini bahwa yang dimaksudkan oleh Hadits asal kejadian wanita bukanlah makna haqiqi dan literal, tetapi makna majazi atau metafora.

Namun bagaimanapun, pendapat sebagian ulama tradisional yang menjustifikasi penciptaan wanita dari tulang rusuk tidak dapat disalahkan secara mutlak, karena zahir sebagian Hadits mengatakan demikian.

Bagi ulama tersebut, penciptaan wanita dari tulang rusuk Adam bukan bermakna kerendahan dari segi martabat tetapi merupakan simbol hubungan keduanya yang sangat erat serta saling melengkapi (complementary), sehingga tidak mungkin salah satunya hidup tanpa yang lain.

Kesimpulannya, kedua pendapat itu boleh diambil karena masing-masing berdasarkan Hadits. Tetapi pendapat yang menolak Hadits ini sama sekali, sama saja dengan manafikan kesahihannya, meski dengan alasan hal itu tidak dapat diterima dalam konteks zaman sekarang. Pemikiran ini jelas merupakan pendekatan asing yang tidak ada dalam tradisi Islam.

Jumat, 04 November 2011

Menyambut Hari Raya Idul Adha

Menyambut Hari Raya Idul Adha



Tidak lama lagi, kita akan merayakan salah satu hari raya umat Islam, yaitu Idul Adh-ha; hari di mana kita disyariatkan berkurban. Hari raya ini, Allah sebut dalam kitab-Nya dengan nama hari Haji Akbar (lihat surah At Taubah: 3). Disebut demikian, karena sebagian besar amalan haji dilakukan pada hari ini. Oleh karena itu, hari ini (yakni hari nahar) adalah hari yang paling agung di sisi Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ اْلأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ القَرِّ

"Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Ta'ala adalah hari nahar (10 Dzulhijjah) kemudian hari qar (hari setelahnya)." (HR. Abu Dawud dengan isnad yang jayyid, takhrij Al Misykaat 2/810)

Bahkan hari raya Idul Adh-ha lebih utama daripada hari Idul Fitri karena di hari Idul Adh-ha terdapat shalat Ied dan berkurban, sedangkan dalam Idul Fitri terdapat shalat Ied dan bersedekah, dan berkurban jelas lebih utama daripada bersedekah.

Termasuk rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya adalah apabila Dia mensyariatkan suatu amal saleh, Dia mengajak semua orang melakukannya, dan jika di antara mereka ada yang tidak sanggup melakukannya, maka Dia mensyariatkan amal saleh yang lain sehingga mereka yang tidak mampu melakukannya tetap memperoleh pahala, di mana dengan amal saleh tersebut, Allah mengangkat derajat mereka dan menambah pahalanya. Contohnya adalah barang siapa yang tidak mampu berwuquf di ‘Arafah, maka Allah mensyariatkan baginya puasa ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) yang menghapuskan dosa yang dikerjakan di tahun yang lalu dan yang akan datang, demikian pula mensyariatkan untuknya berkumpul pada hari Idul Adh-ha untuk shalat Ied, berdzikr, dan berkurban..

Sesungguhnya di antara amalan yang disyariatkan Allah pada hari raya ini adalah berkurban. Berkurban adalah amalan yang utama, karena di sana seseorang mengorbankan harta yang dicintainya karena Allah; yang menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan kecintaan Allah daripada apa yang disenangi hawa nafsunya. Berkurban memiliki banyak hikmah, di antaranya adalah sebagai rasa syukur kepada Allah, membantu fakir-miskin dan menghibur mereka, merekatkan hubungan antara orang kaya dengan orang miskin, dan hikmah-hikmah lainnya yang begitu banyak.

Kurban merupakan sunah bapak para nabi, yaitu Ibrahim ‘alaihis salam yang diperkuat oleh syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (Terj. Al Kautsar: 2)

Sedangkan dalam hadits diterangkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan selalu berkurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Umar, ia (Tirmidzi) berkata, “Hadits hasan.”)

Menurut sebagian ulama, berkurban bagi yang mampu hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barang siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)


Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunat mu’akkadah (sunat yang sangat ditekankan) beralasan dengan hadits berikut:

« إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ » .

“Apabila kamu melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu) Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)

Kata-kata “salah seorang di antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.

Namun untuk kehati-hatian, hendaknya seorang muslim tidak meninggalkannya ketika ia mampu berkurban.

Semua kebaikan dapat kita temukan ketika kita mempraktekkan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan kita, sedangkan semua keburukan akan kita temukan ketika kita menyelisihi petunjuk Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami pun mengingatkan sedikit petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah kurban.

1. Usia hewan yang dikurbankan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً ، فَإِنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kamu menyembelih kecuali yang musinnah. Namun jika kamu kesulitan, maka sembelihlah biri-biri (domba) yang jadza’ah.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu)

Maksud “musinnah“ adalah hewan yang sudah cukup usianya. Jika berupa unta, maka usianya lima tahun. Jika berupa sapi, usianya dua tahun. Jika kambing, maka usianya setahun, dan tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan. Adapun jika berupa biri-biri/domba maka yang usianya setahun. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang mendekati setahun (9, 8, 7 atau 6 bulan), tidak boleh di bawah enam bulan –inilah yang dimaksud dengan jadza’ah-.

2. Hewan kurban yang utama

Hewan kurban yang utama adalah hewan kurban yang gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisik dan indah dipandang. Anas radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor biri-biri yang putih bercampur hitam lagi bertanduk, Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya, mengucapkan basmalah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi hewan tersebut.” (HR. Bukhari)

3. Adab menyembelih

Adabnya adalah dengan menghadap kiblat, mengucapkan basmalah dan takbir ketika hendak menyembelihnya dan berbuat ihsan dalam menyembelihnya (seperti menyegarkan hewan sembelihannya, menajamkan pisau dan tidak mengasahnya di hadapan hewan tersebut).

4. Pembagian kurban

Sunnahnya adalah orang yang berkurban memakan dari hewan kurbannya, menyedekahkannya kepada orang miskin dan menghadiahkan kepada kawan-kawannya atau tetangganya, berdasarkan firman Alah Ta’alla:
“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Terj. Al Hajj: 28)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, berilah kepada orang lain dan simpanlah.” (HR. Bukhari)

Namun tidak mengapa disedekahkan semuanya kepada orang-orang miskin.

5. Waktu berkurban

Waktunya adalah setelah shalat Ied dan berakhir sampai tenggelam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Termasuk sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di hari raya Idul Adh-ha adalah makan tidak dilakukan kecuali setelah shalat Ied, lalu menyembelih hewan kurban dan memakan dagingnya.

6. Hewan yang tidak boleh dikurbankan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اْلاَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي"

“Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum (sangat kurus).” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)

7. Bertakbir

Pada hari raya Idul Adh-ha disunnahkan bertakbir, baik takbir mutlak maupun muqayyad. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Terj. Al Hajj: 28)

Hari yang ditentukan itu adalah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Takbir mutlak adalah takbir yang tidak dibatasi waktunya, yaitu mengucapkan, “Allahu akbar-Allahu akbar. Laailaahaillallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamd.” dengan menjaharkan suaranya bagi laki-laki, baik di masjid, di pasar, di rumah, di jalan dan pada saat ia berangkat ke lapangan untuk shalat ‘Ied.

Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dilakukan setelah shalat fardhu, yang dimulai dari fajar hari Arafah, dan berakhir sampai ‘Ashar akhir hari tasyriq.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Hal ini merupakan kesepakatan para imam yang empat.” [Majmu Al -Fatawa 24/220]

Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, bahwa Umar radhiyallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina bergemuruh dengan suara takbir. Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya. Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.”

Termasuk hal yang perlu diketahui pula adalah bahwa pada hari-hari tasyriq kita diharamkan berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hadyu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ ِللهِ تَعَالَى

“Hari tasyriq adalah hari makan, minum dan dzkrullah Ta’ala.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Demikianlah petunjuk singkat dalam menyambut Idul Qurban.

Sebagai penutup, kami ingin menghibur saudara-saudara kami yang tidak mampu untuk berkurban, bahwa sesungguhnya niat mereka untuk berkurban dicatat pahala, dan mereka pun akan mendapatkan pahala kurban. Hal ini berdasarkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika menyembelih kurban bersabda:
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Bismillah wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak
menyembelih." (HR. Abu Dawud, Shahih
Abu Dawud no. 2436).

Abu Dawud no. 2436).

Kita memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan kepada kita taufiq-Nya agar dapat mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menjadikan kita istiqamah di atas takwa dan tidak meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan muslim, Allahumma amin.

Rabu, 02 November 2011

Jilbab: Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!

Jilbab: Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!


Oleh: Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.

(Nara Sumber Radio pada Rubrik Ketahanan Keluarga, Program Radio Cermin Wanita Sholihah, MMC- Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Pada saat dunia Barat rame-rame melarang cadar, maka di Indonesia juga ada yang mengusik kewajiban berjilbab. Universitas ternama di Indonesia menggelar seminar dengan tema : Jilbab: Kewajiban atau Sekedar Budaya”, dengan menghadirkan tokoh liberal Musdah Mulia. Sebagaimana biasa, Musda akan memberikan pendapat yang berbeda dengan Al Qur’an dan Hadits. Misalnya jawaban Musdah atas pertanyaan salah seorang peserta: ” kenapa Anda pakai kerudung?” Musda menjawab: “karena kebiasaan yang sudah dibangun sejak dia nyantri dahulu”.

Sebenarnya ini adalah lagu lama kelompok liberal. Mereka mengatakan jilbab tidak wajib dan menyebutkan batasan berpakaian bagi perempuan menurut Al Qur’an adalah menutup aurat (termasuk kepala, telinga dada, dan leher) dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan standar dan etika kesopanan yang berlaku. Dan bila khimar (kerudung) tidak lagi diperlukan sebagai identitas muslimat, maka khimar menjadi tidak wajib[2] Selanjutnya dikatakan kalau menutup aurat itu merupakan Adat kebiasaan orang Arab. Praktek pemakaian cadar dan penutup kepala merupakan kebiasaan sebelum Islam. Begitu pula istilah Zinah (perhiasan), tabarruj, khimar dan jilbab, bahkan masyrakat Romawi Timur Kuno sudah mengenal bentuk pakaian penutup seluruh tubuh perempuan agar lekukan tubuhnya tidak tampak[3].

Bantahan bahwa Menutup Aurat & Jilbab :Adat-Istiadat/Budaya Orang Arab
Penolakan terhadap hukum syari’ah yaitu kewajiban bagi muslimah berjilbab karena hal itu merupakan adat kebiasaan/budaya orang arab. Jika dilihat sekilas seakan-akan benar, karena adat istiadat memang tidak bisa dipakai sebagai dalil syara’. Akan tetapi jika diperhatikan nampak sekali nuansa liberalnya. Argumen tersebut merujuk argumen historis kelompok liberal yaitu hukum Islam yang ada sekarang adalah produk abad pertengahan, bahkan dipengaruhi adat-istiadat sebelum Islam. Dan hukum dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Hukum tersebut merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Menurut Fazlur Rahman:

The Qur’an is the divine response to qur’anic times, throughthe prophet’s mind, to the moral social situation of the prophet’s Arabia, particularly to the problem of the comercial Meccan Society of this day(Al Qur’an adalah respon ilahi atas masa al Qur’an, melalui pemikiran nabi , terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya permasalahan komersial masyarakat Makkah pada saat itu)[4]
Rahman mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib bagi mulimah akan tetapi perintah itu karena jilbab kedudukannya sebagai adat kebiasaan orang arab, bahkan dipengaruhi adat-istiadat sebelum Arab. Lebih jelasnya pendapat mereka bahwa adat kebiasaan suatu kaum -dalam kedudukannya sebagai adat- untuk dipaksakan terhadap kaum lain, atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu. Dalam surat Al-Ahzab(33):59 :

Allah memerintahkan kaum mu’minah agar mengulurkan jilbabnya. Feminis/Liberal menilai bahwa menutup aurat adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang adat istiadat/ budayanya tidak demikian tidak wajib menggunakan jilbab. Feminis/Liberal menuduh hukum wajibnya muslimah berjilbab merupakan adat kebiasaan orang Arab. Atau dengan kata lain produk budaya Arab.

Memang benar adat kebiasaan tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum syara’.akan tetapi apakah benar bahwa jilbab itu merupakan adat kebiasaan orang Arab?. Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu harus difahami tentang aurat wanita, dan bagaimana cara menutupnya. Untuk menutup aurat wanita yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan maka wanita diperintahkan memakai jilbab (QS. al Ahzab[33];59) dan khimar (kerudung) (QS. An Nur[24];31).

Jilbab adalah pakaian luas semacam baju kurung yang menutupi seluruh tubuh dari leher, dada,tangan sampai kaki dan kerudung untuk menutup kepala, leher sampai dengan dada.

Jilbab merupakan pakaian wanita pada kehidupan umum/keluar rumah: pasar, jalan dsb. Jilbab merupakan pakaian longgar yang menutupi pakaian keseharian wanita di rumah. Hal ini bisa difahami dari hadits Ummu ‘Athiyah ra.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا[5]

Artinya: Dari Ummu Athiyah berkata: Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari Fithri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, Wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meningggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim . Aku bertanya,

“Wahai Rasulullah salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” rasulullah saw menjawab: Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya (HR Muslim).

Berbagai bukti menunjukkan bahwa jilbab bukan adat kebiasaan/budaya orang arab adalah pertama, asbabun nuzul Surat An Nur ayat 31. Diriwayatkan bahwa Asma’ binti Murtsid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang, sehinggga kelihatan gelang-gelang kakinya, dada dan sanggul. Selanjutnya Asma, berkata “Alangkah buruknya pemandangan ini, maka turunlah ayat ini (surat AnNur[24];31)

sampai auratinnisa‘ berkenaan dengan peristiwa tersebut yang memerintahkan kaum mu’minat menutup aurat (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdillah)[6]

Dari asbabun nuzul surat An Nur ayat 31 tersebut jelas sekali bahwa dikatakan gelang-gelang kaki, dada, sanggul perempuan arab saat itu terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu dia belum memakai jilbab. Jika rambut, dada dan kaki tidak dikatakan sebagai aurat tentu saja tidak perlu lagi perintah menutup aurat .
Kedua, asbabun Nusul Surat Al Ahzab[33] ayat 59. Diriwayatkan bahwa isteri-isteri Rasulullah pernah keluar malam untuk qadla hajat buang air).

Pada waktu itu kaum munafiqin menganggu mereka dan menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah Saw, sehingga Rasul menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab: “kami hanya mengganggu hamba sahaya”. Turunlah ayat (surat Al Ahzab[33];59) sebagai perintah untuk berpakaian tertutup agar berbeda dari hamba sahaya.[7](diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam at Thabaqat yang bersumber dari Abi malik. Diriwayatkan pula Ibnu Sa’d yang bersumber dari Hasan dan Muhammad bin Ka’b al Quradli) [8]
Dari bukti-bukti tersebut diatas, jelas bahwa orang yang mengatakan:

jilbab adalah produk budaya Arab atau adat kebiasaan/budaya orang Arab adalah tidak benar. Argumen itu hanyalah dalih untuk menolak hukum syari’ah yaitu perintah wajib berjilbab bagi muslimah. Kewajiban berjilbab bagi muslimah berdasar pada surat An Nur[24];31, Al-ahzab[33];59 dan hadits Rasulullah Saw bukan yang lain.
Di dalam al Qur,an terpadat pada surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Terdapat qarinah yang jelas dalam kedua surat tersebut bahwa menutup aurat bagi wanita hukumnya wajib. Hanya saja tidak disebutkan batasannya didalam Al Qur’an. Akan tetapi di dalam hadits diperinci secara jelas batasan aurat wanita, pakaian yang bagaimana yang bisa menutup aurat dan apa yang disebut jilbab serta kapan harus memakai jilbab.

Adapun perbedaan ulama’ tidak mengenai perintah wajibnya karena para ulama’ madzhab sepakat tentang hal itu. Hanya saja mereka berbeda mengenai batasan aurat dan perbedaannya pada hal yang masih bisa ditolelir: masalah ijtihadi (Dalil dzonni dilalah : suatu dalil yang mempunyai makna lebih dari satu). Perbedaan tersebut bersumber dari penafsiran الا ما ظهر منها (kecuali yang biasa nampak) dalam surat An Nur ayat 31.

Jumhur ulama’ tidak berbeda mengenai status hukumnya, bahwa hukum menutup aurat adalah wajib. Hanya saja mereka berbeda mengenai batasan aurat. Sebagian berpendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan yang lain berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Menurut jumhur ulama’ bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Muka dan telapak tangan termasuk punggung tangan bukan aurat Hal ini berdasarkan: Sabda Rasulullah Saw :

“Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).
Dalam riwayat yang lain dikatakan menampakkan kedua tangannya (Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.
Juga terdapat pada hadits shaheh riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:

المراءة عورة
Artinya: Wanita adalah aurat ( HR Ibnu Hibban).
Dan hadits

ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا مفصل

‘Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud) [9]Kaki termasuk aurat. Hal ini berdasarkan hadits shahih riwayat Nasa’i dan Tirmidzi.

“Dan dari Ibnu Umar ia berkata Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat . Lalu Ummu Salamah bertanya: Lalu bagaimana perempuan harus berbuat terhadap ekor pakaiannya? Nabi menjawab: Turunkanlah sejengkal. Ummu Salamah berkata;: kalau demikian masih terlihat kaki- kaki mereka . Hendaklah mereka menurunkannya sehasta, jangan mereka melebihkan dari itu”(HR Nasa’i dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya).

Dan riwayat yang lain:

Sesungguhnya isteri-isteri Nabi Saw . Lalu Nabi Saw menjawab: Turunkanlah ia sejengkal. Kemudian mereka menjawab: kalau sejengkal tidak dapat menutup aurat. Lalu Nabi menjawab: panjangkanlah ekor kainnya itu sehasta(HR Ahmad)[10]
Menutup Aurat & Jilbab dalam Pandangan Islam:Wajib
Kalau kita memperhatikan sebelum Alloh memerintahkan menutup aurat yang terdapat dalam surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab 59, terlebih dahulu Allah memerintahkan menahan pandangan (ghadldlul al Bashar) dalam surat An Nur [24] ayat 30. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara menutup aurat dengan menundukkan pandangan[11]. Surat an Nur ayat 30:

قُل لِلمُؤمِنينَ يَغُضّوا مِن أَبصٰرِهِم وَيَحفَظوا فُروجَهُم ۚ ذٰلِكَ أَزكىٰ لَهُم ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما يَصنَعونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat[12].

Ayat tersebut memerintahkan kaum mu’minin untuk menundukkan pandangan terhadap aurat perempuan yaitu selain muka dan telapak tangan. Karena melihat selain muka dan telapak tangan hukumnya haram. Termasuk rambut, leher, kaki, dada, dsb. Bukhari meriwayatkan hadits berkenaan dengan surat An Nur ayat 31 :

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ لِلْحَسَنِ إِنَّ نِسَاءَ الْعَجَمِ يَكْشِفْنَ صُدُورَهُنَّ وَرُءُوسَهُنَّ قَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ عَنْهُنَّ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ وَقَالَ قَتَادَةُ عَمَّا لَا يَحِلُّ لَهُمْ[13].

Artinya: Dan Sa’id nin Abi Hasan berkata kepada Hasan;”Sesungguhnya para wanita non ‘Arab selalu menyingkapkan dada dan rambut mereka”.Mendengar itu Hasan berkata: Palingkan pandanganmu”-Firman Allah: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya dan Qatadah berkata tentang hal itu (aurat wanita) tidak gala bagimu (HR. Bukhari)
Selanjutkan dalam surat An Nur ayat 31 Allah menjelaskan juga batasan aurat yang boleh dilihat yaitu selain muka dan telapak tangan[14]. Dengan demikian haram melihat aurat wanita .Dan boleh melihat selain aurat yaitu muka dan telapak tangan. Surat An Nur ayat 31

وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا

Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam Nidzam Ijtima’i fi Al Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani menyebutkan yang dimaksud dengan kata “Zinah”(perhiasan) adalah “mahalluzzina min a’dho’i al Mar’ati”.

Dengan demikian yang tidak boleh terlihat pada wanita adalah tempat perhiasan mereka: rambut, leher, tangan dan kaki. Dengan kata lain aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan terlapak tangan Kalimat ولا يبدين زينتهن (Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya) dalam Surat an Nur ayat 31. Kata ولا menunjukkan ath thalabu at tarki (tuntutan untuk meninggalkan).

Kalimat: واليضربن بخمرهن على جيوبهن (dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kerudung ke dadanya). Lam pada kata واليضربن merupakan lam amar (perintah menunjukkan ath thalabu al fikli (tuntutan untuk mengerjakan). Dan Kata يدنين من جلببهن (mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) dalam surat al Ahzab ayat 59 . Kata عليهن menunjukkan ath thalabu al fikli (tuntutan untuk mengerjakan).

Untuk menunjukkan bahwa tuntutan menutup aurat dalam surat an Nur ayat 31 dan al Ahzab 59 merupakan hukum wajib perlu, ada qarinah yang jazim(indikasi yang pasti) sebagai berikut:

Pertama, adanya pujian bagi orang yang melaksanakan perintah menutup aurat akhir dari ayat tersebut š لعلكم تفلحون(supaya kamu beruntung) pada akhir Surat An Nur ayat 31 menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan kewajiban. Dan adanya perintah untuk bertaubat: وتو ب الى الله ( maka bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah) pada akhir surat al Ahzab ayat 59. Hal ini menunjukan bahwa membuka aurat hukumnya haram dan berdosa. Karena jika anjuran tentu Allah tidak memerintahkan bertaubat.
Kedua, adanya dzam (celaan) bagi orang yang membuka aurat menunjukkan bahwa mentup aurat merupakan kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Ahmad dan Muslim[15]. “Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا[16]

Ada dua macam golongan dari ahli neraka yang tidak kuketahuinya lagi sesudah itu, yaitu perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang yang berpaling dan memalingkan, diatas kepala mereka ada(sanggul sebesar kelasa onta yang bergoyang-goyang, mereka itu tidak dapat melihat surga dan tidak dapat mencium bauhnya. Dan laki-laki yang selalu membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu dipukulnyalah manusia (HR Ahmad dan Muslim)
Ketiga, Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)”(HR ath Thabari).

Dalam riwayat yang lain dikatakan:
menampakkan kedua tangannya (Rasulullah Saw lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.

Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan juga berdasarkan hadits shaheh riwayat Ibnu Hibban. Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
المراءة عورة
Artinya: Wanita adalah aurat”( HR Ibnu Hibban).
Dan hadits

ان الجارية اذا حاضت لم يصلح ان يرى منها الا وجهها ويدها هلا مفصل

‘Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan).(HR Abu Dawud) [17]

Rasulullah Saw. Bersabda:”Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini” Hadis tersebut menunjukkan tuntutan meningggalkan (ath thalabu at tarki)/ larangan bagi wanita untuk menampakkan aurat. Dan larangan ini kedudukan hukumnya bukan makruh, akan tetapi haram karena ada qorinah yang pasti berupa tuntutan untuk meninggalkan disertai dengan kata iman yaitu: percaya kepada Allah dan hari kemudian. Karenanya wanita diharamkan menampakkan aurat. Tentu saja hal ini menunjukkan wajibnya wanita menutup aurat. []

[1] Mahasiswa S3, Konsentrasi Pendidikan dan Pemikiran Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor.
[2] Badriyah Fayumi ” Aurat Dalam Pandangan Islam” Jurnal HARKAT- Media Komunikasi Gender, Jakarta,PSW UIN Syarif Hidayatullah ,Vol2. No.2 April 2002, hlm. 8-9
[3] Ibid, hlm. 5
[4] Nirwan Syafrin, M.A, Kritik Terhadap Faham Liberalisasi Syariat Islam, Makalah, hal 22
[5] Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Muslim, hadis no. 1475
[6] Shaleh, HAA. Dahlan dan MD. Dahlan, Asbabun Nuzul , Bandung, cv. Diponegoro, 1996, hlm. 356
[7] Perlu diketahui bahwa budak pada saat itu hanya menutup antara pusat dan lutut .
[8] Ibid, hlm. 409
[9] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.42.
[10] Syekh Faishal bin Abdul Azizi, Bustanul ahbar-mukhtashar Nailul Author juz I, Surabaya, PT Bina Ilmu, Th, hlm.369
[11] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm 41-42
[12] TQS. An Nur[24];30)
[13] Hadis Shaheh, diriwayatkan Bukhari, Bab Qaul Ta’ala (Firman Allah)
[14] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm 38-54
[15] Syekh Faishal bin Abdul Azizi, Bustanul ahbar-mukhtashar Nailul Author juz I hal. 422
[16] Hadis Shaheh, diriwayatkan Muslim, Hadis no. 5098 dan
[17] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.42

Sabtu, 29 Oktober 2011

Mendambakan Wanita Sholehah

Mendambakan Wanita Sholehah




Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya?. Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian.

Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.

Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.

Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.

Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah wanita shalihah. Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dalam diri wanita shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.

Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan. Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata:

“Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua haknya namun ia selalu menyakitiku.”

Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….! Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.

Keutamaan wanita shalihah
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu.

Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.

“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)

Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ

“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)

Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Empat hal tersebut merupakan faktor penyebabdipersuntingnya seorang wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 10/52)

Sifat-sifat Istri Shalihah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا

“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5)

Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:

a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.

b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala

c. Qanitat: wanita-wanita yang taat

d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.

e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).

f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)
Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:

1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.
6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:

1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)

2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami)

.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)

4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau:

“Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)

7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ

“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)